TEMPO.CO, Jakarta - Nada sumringah itu keluar dari pernyataan Benny Soetrisno. Ketua Umum Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia ini menanggapi moncernya pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) soal surplus neraca perdagangan per Juli lalu. Ia menilai data itu menunjukkan ekspor sektor industri pengolahan serta impor barang modal pada Juli lalu merupakan sinyal kuat bahwa industri manufaktur Tanah Air mulai menggeliat.
Hal ini juga sebagai pertanda bahwa hilirisasi produk mulai dilirik oleh pelaku usaha di dalam negeri. “Saya melihat kondisi ini sebagai sinyal positif untuk perdagangan selanjutnya. Ada hilirisasi yang dilakukan, terutama pada produk pertanian dan pertambangan,” kata Benny ketika dihubungi, Selasa, 17 Agustus 2020.
Adalah data BPS yang menyebutkan bahwa neraca dagang Indonesia sepanjang Juli mengalami surplus sebesar US$ 3,26 miliar yang kemudian membuat Benny bungah. Angka ini adalah surplus terbaik sepanjang sembilan tahun terakhir.
Surplus berasal dari peningkatan ekspor non-migas sebesar 13,86 persen atau dari US$ 11,4 miliar pada bulan sebelumnya menjadi US$ 13 miliar. Ekspor migas juga tercatat mengalami kenaikan sebesar 23,77 persen dari US$ 569,3 juta menjadi US$ 704,7 juta.
Melonjaknya kinerja ekspor migas didorong oleh naiknya ekspor minyak mentah sebesar 84,9 persen menjadi US$ 113,3 juta dan ekspor gas 24,03 persen menjadi US$ 439,2 juta. Meski ekspor hasil minyak turun 1,16 persen; total kinerja pengiriman komoditas ke luar negeri telah ditopang oleh perdagangan lemak dan minyak hewan atau nabati yang mengalami peningkatan 17,34 persen atau US$ 247,9 juta.
Di subsektor lain, ekspor kendaraan dan bagiannya meningkat 45,65 persen menjadi US$ 144,3 juta. Sedangkan besi dan baja naik 18,96 persen menjadi US$ 134,3 juta. Lebih lanjut, ekspor mesin serta perlengkapan elektrik naik 13,73 persen menjadi US$ 96,0 juta.